Bismillah.
Setelah membawakan ayat ke-56 dari surat adz-Dzariyat, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menyebutkan ayat ke-36 dari surat an-Nahl.
Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36)
Sebagaimana telah dijelaskan dalam faidah ayat sebelumnya, bahwa manusia tidak diciptakan dalam keadaan sia-sia. Manusia diciptakan untuk mewujudkan sebuah tujuan yang mulia dan agung yaitu untuk beribadah kepada Allah. Dan hal itu bukanlah demi kepentingan Allah, sebab Allah sama sekali tidak membutuhkan hamba dan makhluk-Nya. Akan tetapi Allah perintahkan mereka beribadah demi kemaslahatan diri mereka sendiri.
Maka, ayat yang mulia ini pun menunjukkan faidah yang serupa; bahwa umat manusia tidaklah diciptakan demi sebuah kesia-siaan (lihat al-Jadid fi Syarhi Kitab at-Tauhid, hal. 21)
Di dalam ayat ini Allah memberitakan, bahwasanya Allah telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang memerintahkan mereka untuk beribadah kepada Allah semata dan melarang mereka dari beribadah kepada selain-Nya (lihat al-Jami’ al-Farid, hal. 11)
Dengan demikian, ayat ini merupakan tafsir bagi ayat sebelumnya. Di dalam ayat sebelumnya terkandung keterangan tentang makna ibadah serta tujuan dari penciptaan makhluk. Di dalam ayat ini terkandung pelajaran bahwa Allah mengutus para rasul untuk mengajak manusia beribadah kepada Allah. Dan hakikat beribadah kepada Allah itu terpadu dalam dua kalimat ini ‘beribadah kepada Allah’ dan ‘menjauhi thaghut’. Inilah kandungan dari kalimat laa ilaha illallah; menolak segala sesembahan selain Allah dan menetapkan bahwa hanya Allah sesembahan yang benar (lihat keterangan Syaikh Shalih alu Syaikh hafizhahullah dalam at-Tam-hid, hal. 14)
Thaghut ialah segala hal yang menyebabkan seorang hamba melampaui batas dalam bentuk sesuatu yang disembah, diikuti, atau ditaati. Demikian intisari keterangan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah sebagaimana dinukil dalam ad-Dur an-Nadhidh (hal. 11)
Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu menafsirkan ‘thaghut’ dengan ‘setan’. Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu menafsirkan ‘thaghut’ dengan ‘para dukun yang setan-setan turun kepada mereka’. Imam Malik rahimahullah menafsirkan ‘thaghut’ dengan ‘segala sesembahan selain Allah’ (lihat dalam Fat-hul Majid Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 32)
Segala yang disembah selain Allah disebut sebagai ‘thaghut’ baik berupa patung, berhala, kuburan, atau tempat keramat. Akan tetapi apabila orang atau makhluk yang disembah tidak ridha dengan penyembahan itu maka ia tidak dinamakan thaghut. Semacam Nabi ‘Isa ‘alaihis salam, hamba-hamba yang salih seperti Hasan dan Husain serta para wali Allah, mereka tidak disebut sebagai thaghut. Meskipun demikian penyembahan kepada mereka tetap disebut ibadah kepada thaghut yang dalam hal ini adalah setan; karena sesungguhnya setan itulah yang memerintahkan perbuatan itu (lihat I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitab at-Tauhid, 1/36)
Kaitan ayat ini dengan bab dalam Kitab Tauhid ini ialah bahwa ayat ini menunjukkan misi para rasul dan pengikut mereka adalah untuk mendakwahkan tauhid serta melarang dari segala bentuk kemusyrikan (lihat al-Mulakhkhash fi Syarhi Kitab at-Tauhid, hal. 11)
Di dalam ayat ini juga terdapat faidah bahwa hakikat ibadah yang harus dilakukan oleh setiap insan -yang hal ini merupakan tujuan hidup mereka- adalah ibadah yang bersih dari syirik -dalam bentuk ibadah kepada selain-Nya apa pun bentuknya- oleh sebab itu amal-amal tidak sah tanpa berlepas diri dari segala penyembahan kepada selain-Nya (lihat Qurratu ‘Uyunil Muwahhidin, hal. 4)
Oleh sebab itu dalam merealisasikan tauhid tidak cukup hanya dengan meninggalkan syirik. Akan tetapi harus melakukan sesuatu yang lebih daripada itu, yaitu harus berlepas diri dari syirik dan para pelakunya. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang berkata kepada kaumnya (yang artinya), “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa-apa yang kalian sembah selain Allah…” (al-Mumtahanah : 4) (lihat Maqashid Kitab at-Tauhid, hal. 6 karya Dr. ‘Isa bin Abdillah as-Sa’di hafizhahullah)
Oleh sebab itulah apabila kita cermati dengan seksama penjelasan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam risalah beliau al-Ushul ats-Tsalatsah atau Tsalatsatul Ushul beliau mengaitkan antara ketiga hal berikut ini ; mengenai diutusnya rasul, menjauhi syirik, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya.
Beliau berkata :
Ketahuilah -semoga Allah merahmati anda- bahwasanya wajib atas setiap muslim dan musimah untuk mempelajari ketiga perkara berikut ini dan beramal dengannya.
Pertama : Bahwasanya Allah yang menciptakan kita dan memberikan rezeki kepada kita, dan Allah tidak meninggalkan kita dalam keadaan sia-sia. Akan tetapi Allah mengutus kepada kita seorang rasul, barangsiapa taat kepadanya niscaya dia masuk surga dan barangsiapa durhaka kepadanya maka dia akan masuk neraka.
Dalilnya adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kalian seorang rasul sebagai saksi atas kalian sebagaimana Kami telah mengutus kepada Fir’aun seorang rasul, maka Fir’aun pun durhaka kepada rasul itu oleh sebab itu Kami pun menyiksanya dengan siksaan yang berat.” (al-Muzammil : 15-16)
Kedua : Bahwasanya Allah tidak ridha apabila dipersekutukan dengan-Nya siapa pun juga dalam hal ibadah kepada-Nya apakah itu malaikat yang dekat atau pun nabi utusan. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah maka janganlah kalian menyeru/beribadah bersama dengan Allah siapa pun juga.” (al-Jin : 18)
Ketiga : Bahwasanya barangsiapa taat kepada rasul dan mengesakan Allah maka tidak boleh baginya untuk memberikan loyalitas kepada orang-orang yang memusuhi Allah dan rasul-Nya walaupun dia itu adalah karib kerabat yang terdekat dengannya.
Dalilnya firman Allah ta’ala (yang artinya), “Tidak akan kamu dapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir justru berkasih sayang dengan orang-orang yang memusuhi Allah dan rasul-Nya walaupun mereka itu adalah bapak-bapak mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka, atau sanak famili mereka. Mereka itulah yang Allah tetapkan pada hati mereka keimanan dan Allah perkuat mereka dengan ruh/pertolongan dari-Nya. Dan Allah akan memasukkan mereka ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Mereka itulah golongan Allah, ketahuilah bahwa golongan Allah itulah yang pasti akan beruntung.” (al-Mujadilah : 22)